MusiNews.id — Jangan pernah takut bermimpi. Itulah pesan hidup yang selalu dipegang teguh oleh Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc. Meski pernah ditertawakan karena memiliki cita-cita yang dianggap temannya terlalu tinggi, Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc yang pernah berprofesi sebagai kondektur bus kota, tetap teguh dengan impiannya.
Kini, ia berhasil meraih gelar Guru Besar di Universitas Sriwijaya (UNSRI), sebuah pencapaian yang membuktikan bahwa mimpi sekecil apapun dapat menjadi kenyataan, jika diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Lahir di Desa Jelabat BK 9, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) pada 4 Oktober 1972, perjalanan hidup Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc tidaklah mudah. Di desa kecil ini, ia tumbuh dalam lingkungan yang serba terbatas, baik dari segi ekonomi maupun fasilitas.
Namun, dengan didikan yang kuat dari kedua orang tuanya dan semangat yang tidak pernah padam untuk meraih cita-cita, Ia mampu menghadapi berbagai tantangan. Keterbatasan ekonomi yang dialami, justru menjadi semangatnya untuk terus maju dan meraih prestasi.
Menurut anak pasangan H. Abu Daud dan Hj. Sri Utami ini, mimpi adalah kunci utama untuk maju. “Pertama, jangan takut untuk bermimpi, karena ketika kita tidak punya mimpi untuk masa depan, saat itulah keinginan kita untuk maju itu tidak ada dorongannya. Pendorong utamanya adalah mimpi.” ujarnya dalam Webinar SEVIMA, hari Selasa tanggal 3 Agustus 2024.
Perjalanan hidup Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc yang penuh perjuangan, dimulai sejak ia masih kecil. Tinggal di desa terpencil, Icak, nama panggilan masa kecil, baru merasakan listrik saat ia duduk di kelas 2 Sekolah Dasar.
Hal itu pun terjadi berkat seorang juragan yang membeli mesin diesel untuk mengalirkan listrik ke seluruh desa, dengan iuran tertentu. Baru pada tahun 1991, listrik dari PLN masuk ke desanya. Meski hidup dalam keterbatasan, hal tersebut justru membuat Iskhaq semakin gigih dalam meraih impian, menjadikannya sosok yang inspiratif bagi banyak orang.
Jadi Kondektur Bus Demi Bertahan Hidup
Demi meraih cita-citanya, Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc merantau ke Palembang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Di sinilah perjuangan hidupnya semakin diuji. Dengan bekal uang saku yang sangat minim, hanya Rp 50 ribu setiap bulan untuk semua kebutuhan mulai dari uang kuliah, bayar kos, hingga makan, Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc harus mencari cara untuk bertahan hidup.
Ia akhirnya tidak ragu mengambil pekerjaan sebagai kondektur bus kota Palembang di Jurusan Kilometer 12-Plaju. Meski harus menahan rasa malu, terutama saat bertemu dengan teman-teman kuliahnya, Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc tetap menjalani pekerjaan ini dengan semangat.
Baginya, tidak ada yang lebih penting daripada bisa melanjutkan pendidikan. “Bahkan, istri saya saat ini, juga ketemunya saat saya jadi kondektur bus. Di samping kita memang satu kampus di Universitas Sriwijaya. Saat itu saya malu, tapi saya lebih memilih malu daripada tidak makan.” kenang Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc.
Untuk menambah penghasilan, Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc juga bekerja sebagai kuli panggul di pasar bersama teman satu kosnya. Setiap pagi, usai Sholat Subuh, ia berjalan sejauh 3 kilometer menuju pasar, untuk mengangkat barang-barang belanjaan milik orang. Kehidupan yang keras ini membuatnya harus mengatur segalanya dengan sangat hemat, termasuk pola makannya. Ia hanya makan dua kali sehari, pada pukul 10.00 dan pukul 17.00, demi bisa bertahan dalam kondisi yang serba terbatas.
“Sesekali kita makan mie yang direbus lebih lama dari umumnya, supaya mengembangnya besar dan lembek, jadi kenyangnya bisa seharian.” kenang Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, MSc.
Setelah berhasil menyelesaikan kuliahnya, ayah tiga anak itu, sempat bekerja di salah satu bank. Tahun 1996, hatinya terpanggil untuk menjadi dosen di Universitas Sriwijaya. Keputusannya ini diambil dengan harapan besar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di luar negeri.
Impian Iskhaq untuk melanjutkan pendidikan akhirnya terwujud. Ia berhasil melanjutkan studi S2 dan S3 di Universitas Tokyo, Jepang. Perjalanan menuju gelar doktor ini tidaklah mudah, namun dengan semangat yang telah menemaninya sejak kecil, Iskhaq berhasil menuntaskan pendidikan tertinggi tersebut. Ia membawa pulang ilmu yang mendalam tentang oseanografi dan iklim tropis, disiplin ilmu yang kemudian menjadi bidang keahliannya hingga diberi amanah sebagai profesor.