Memaknai Hari Puisi dalam Era Kekinian

Pemerintah secara resmi menetapkan tanggal 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. Penetapan ini dilakukan di Plaza Teater, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada hari Sabtu, tanggal 26 Juli 2025, dan menjadi momen penting dalam dunia sastra Indonesia. Tanggal tersebut sebenarnya sudah lama diperingati secara kultural oleh komunitas penyair sebagai hari puisi, meski sebelumnya belum diakui secara formal oleh negara.

Kini, dengan status resminya, Hari Puisi Indonesia menjadi bagian dari kalender nasional, sejajar dengan peringatan budaya dan sastra lainnya.

Menteri Kebudayaan dalam sambutannya menyampaikan harapan besar, semoga Hari Puisi Indonesia tak sekadar jadi seremoni tahunan, tapi juga jadi pemicu lahirnya ekosistem literasi yang lebih kuat, terbuka, dan memberdayakan. Puisi diharapkan tetap hadir sebagai medium refleksi, kritik, cinta, serta ruang bagi suara-suara yang selama ini tak terdengar, menghubungkan kembali nurani masyarakat dengan realitas kehidupan.

Penetapan ini tentu menggembirakan, apalagi ketika kita menyadari bahwa puisi bukan hanya milik para penyair.

Menurut saya, puisi adalah milik siapa saja yang pernah merasa. Siapa pun yang pernah patah hati, jatuh cinta, bingung soal hidup, atau sekadar ingin menuliskan keresahan tanpa takut dihakimi, mereka semua sedang, atau pernah, menulis puisi. Karena puisi bukan soal rima atau keindahan kata. Puisi adalah kejujuran, adalah kata hati.

Di era sekarang, di mana semuanya terasa cepat dan terburu-buru, puisi justru bisa jadi pelan-pelan yang kita butuhkan. Baca berita cukup dari judul, nonton video cukup 15 detik, pengen viral tinggal bikin konten. Dunia semakin ramai, tapi kadang terasa kosong. Di tengah itu semua, puisi datang bukan untuk ikut rame, tapi untuk mengajak kita berhenti sejenak. Duduk. Tarik napas. Rasakan. Pikirkan.

Berita Terkait :  Dari Percakapan Kecil ke Kampung Global : Evolusi Komunikasi Massa

Buat sebagian orang, puisi masih dianggap “berat” atau terlalu puitis. Tapi faktanya, puisi sudah berubah bentuk. Ia nggak harus selalu ada di buku atau dibacakan di acara sastra yang serius. Sekarang, puisi bisa jadi caption Instagram, status WhatsApp, atau bahkan video TikTok dengan latar musik sendu.

Generasi digital pun nggak asing lagi sama potongan bait Sapardi yang muncul di feed, atau puisi dari penulis-penulis baru yang viral di Twitter.

Merayakan Hari Puisi Indonesia bukan berarti kita hanya menoleh ke masa lalu atau mengagumi para penyair besar. Tapi lebih dari itu, kita sedang mengakui bahwa di zaman yang serba cepat ini, kita tetap butuh ruang untuk merasa. Dan puisi adalah salah satu cara terbaik untuk itu. Ia nggak ribut, tapi menggetarkan. Ia nggak banyak bicara, tapi mengena.

Bahkan sekarang, kita bisa lihat banyak komunitas puisi tumbuh subur di media sosial. Ada yang bikin tantangan nulis puisi harian, diskusi online, sampai acara baca puisi bareng lewat Zoom. Artinya, puisi nggak punah. Ia justru berkembang. Ia bisa berakar bahkan di tempat yang sebelumnya nggak terpikirkan.

Lebih dari sekadar ekspresi pribadi, puisi juga bisa menyuarakan hal-hal besar: isu sosial, keresahan politik, problem lingkungan, bahkan tragedi kemanusiaan. Dalam satu bait yang pendek, kadang terkandung kekuatan lebih dari seribu komentar di medsos. Puisi bisa jadi protes yang halus, bisa jadi pelipur lara, atau sekadar pengingat bahwa kita masih punya rasa.

Berita Terkait :  Mahasiswa KKNT STISIPOL Candradimuka Gelar Seminar Pemberdayaan Sulaman Angkinan di Sungai Lais

Hari Puisi Indonesia bisa jadi momentum yang bagus, terutama bagi generasi muda, untuk mendekatkan diri ke dunia kata yang penuh makna. Nggak harus jadi penyair, tapi cukup berani untuk jujur. Nulis puisi itu nggak butuh bakat luar biasa. Yang dibutuhkan cuma keberanian untuk menuliskan isi hati. Karena nulis puisi itu seperti terapi, menyembuhkan, menenangkan, dan sangat manusiawi.

Bayangin kalau sekolah-sekolah punya waktu khusus untuk menulis puisi bebas. Atau kalau media sosial punya tagar puisi harian yang seru dan relate banget. Atau kalau pemerintah dan komunitas budaya lebih sering bikin festival puisi digital, lomba daring, atau pameran puisi di ruang publik. Kalau itu semua bisa terjadi, maka puisi nggak lagi jadi hal eksklusif. Ia benar-benar hadir di kehidupan sehari-hari.

Yang jelas, puisi masih punya tempat. Bahkan mungkin makin relevan di tengah hiruk-pikuk digital yang serba cepat dan serba permukaan. Puisi ngajak kita menyelam lebih dalam. Nggak perlu panjang-panjang. Cukup satu kalimat, tapi bisa bikin mikir. Cukup satu bait, tapi bisa menyentuh jiwa.

Jadi, yuk rayakan puisi. Rayakan kata-kata yang datang dari hati, bukan dari algoritma. Rayakan kejujuran di tengah citra palsu. Rayakan rasa, karena di balik semua layar dan notifikasi itu, kita tetap manusia. Kita masih butuh disentuh. Bukan cuma oleh jempol yang nge-scroll, tapi oleh kata-kata yang jujur.

Selamat menyambut Hari Puisi Indonesia. Teruslah menulis, membaca, dan merasakan. Karena puisi bukan untuk siapa-siapa. Puisi, ya untuk kita sendiri.

Ditulis oleh Dr. Arif Ardiansyah, Dosen STISIPOL Candradimuka, Palembang.

Pemutihan Pajak Sumatera Selatan tahun 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *