Seorang kawan baik mengirimkan sebuah draf dan hasil Fokus Group Diskusi (FGD) terbatas, terkait dengan Pemajuan Kebudayaan Sumatera Selatan (Sumsel). Draf dan hasil FGD itu mengisyaratkan perlunya rembug budaya di Sumsel.
Ia ingin saya mengkritisi hal ini. Saya berpikir, rembuk budaya ini mungkin terkait dengan turunan Undang-Undang yang mengatur tentang pemajuan kebudayaan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Undang-undang ini disahkan pada 24 Mei 2017 dan diundangkan pada 29 Mei 2017.
Undang-Undang ini bertujuan untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina keragaman budaya sebagai identitas bangsa. Fokusnya adalah pada pendayagunaan sepuluh Objek Pemajuan Kebudayaan, yaitu: Tradisi lisan, Manuskrip, Adat istiadat, Ritus, Pengetahuan tradisional, Teknologi tradisional, Seni, Bahasa, Permainan rakyat, dan Olahraga tradisional.
Tentu dengan adanya undang-undang ini, diharapkan kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya sebagai investasi masa depan, semakin meningkat.
Tulisan kali ini, saya ingin melihat lebih jauh dalam pandangan kritis tentang pemajuan kebudayan di Sumsel.
Provinsi ini, memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, baik dalam bentuk benda maupun tidK benda. Dari rumah adat Limas yang megah, hingga tradisi lisan Tadut Pagar Alam yang unik, warisan ini seharusnya menjadi kebanggaan dan identitas masyarakat.
Namun, kenyataannya, banyak dari peninggalan ini justru terpinggirkan dan tidak lagi mendapatkan perhatian yang memadai.
Wacana pelestarian budaya, kerap muncul dalam berbagai forum, tetapi implementasinya sering kali jauh dari harapan. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi kritis terhadap strategi yang diusulkan, agar pemajuan kebudayaan tidak sekadar menjadi jargon tanpa dampak nyata.
Salah satu yang kerap didengungkan untuk melindungi kebudayan adalah pengembangan destinasi wisata budaya. Mengembangkan destinasi wisata budaya memang terdengar menjanjikan, tetapi apakah strategi ini benar-benar memperhatikan esensi pelestarian budaya atau sekadar mengejar aspek komersial
Museum Negeri Sumatera Selatan Balaputradewa, misalnya, masih menghadapi kendala klasik, seperti kurangnya inovasi dalam penyajian informasi dan minimnya keterlibatan masyarakat. Wisata berbasis budaya, juga berisiko mengalami komodifikasi, dimana nilai autentik warisan budaya malah terkikis demi kepentingan industri pariwisata. Oleh karena itu, pengembangan wisata budaya harus diiringi dengan kebijakan yang memastikan nilai-nilai asli tetap terjaga, bukan sekadar menciptakan atraksi turistik.
Hal ini juga terlihat dari keberadaan sejumlah budaya tidak benda di Sumsel, keberadaan budaya tidak benda, seperti seni tutur, ritual adat, dan musik tradisional, menghadapi ancaman serius, akibat modernisasi yang menggeser peran budaya lokal dalam kehidupan sehari-hari. Langkah dokumentasi dan digitalisasi memang telah diperkenalkan sebagai solusi, tetapi apakah ini cukup?
Dokumentasi tanpa strategi pemanfaatan yang jelas hanya akan menjadi arsip yang kurang bermakna. Proses regenerasi pelaku seni dan pewarisan budaya kepada generasi muda harus menjadi prioritas utama agar kebudayaan tak benda tidak hanya tersimpan dalam buku atau rekaman, tetapi juga tetap hidup dalam praktik sosial masyarakat.
Lalu ada strategi perlindungan budaya, dengan mengedepankan dan melakukan sejumlah kegiatan penyadaran masyarakat terhadap pentingnya kebudayaan, dengan kampanye di media sosial, festival budaya, atau film documenter. Pendekatan ini nyaris cenderung gagal. Sebab, pendekatan ini tidak mampu menciptakan perubahan nyata dalam pola pikir masyarakat. Di tengah derasnya arus budaya global, kampanye semacam ini sering kali hanya menjadi perayaan sesaat, tanpa dampak yang berkelanjutan.
Dengan kenyataan itu, menurut saya, diperlukan pendekatan yang lebih struktural dan massif, seperti memasukkan kebudayaan lokal dalam kurikulum pendidikan formal dan memperkuat peran komunitas budaya, dalam mengedukasi generasi muda, memperbanyak kantong-kantong budaya. Tanpa upaya yang lebih mendalam, kesadaran yang dibangun melalui komunikasi persuasif, hanya akan berakhir sebagai wacana tanpa aksi konkret.
Narasi strategi agar mengandeng masyarakat lokal yang kerap disebut sebagai kunci keberhasilan pelestarian budaya, juga harus dikritisi. Sebab, kenyataannya, masih banyak kebijakan yang bersifat top down dan tidak benar-benar melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Bantuan dana atau pelatihan yang diberikan pemerintah, sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.
Sebagai contoh, kain songket Palembang yang memiliki nilai estetika dan historis tinggi, lebih banyak diproduksi untuk pasar komersial, tanpa adanya upaya serius dalam menjaga teknik tenun tradisionalnya. Jika kerja sama dengan masyarakat hanya bersifat simbolis, maka pelestarian budaya tidak akan berjalan efektif dan justru berisiko menjauhkan masyarakat dari akar budaya mereka sendiri.
Terkait dengan strategi pembangunan infrastruktur budaya, ada sebagian penggiat budaya yang meyakini bahwa Pembangunan museum, galeri seni, dan pusat kebudayaan, sering kali menjadi indikator komitmen pemerintah dalam memajukan kebudayaan.
Namun bagi saya, pembangunan infrastruktur fisik tanpa program yang berkelanjutan, justru hanya akan menghasilkan gedung-gedung kosong yang tidak berfungsi optimal.
Infrastruktur budaya harusnya menjadi pusat aktivitas yang benar-benar hidup, bukan hanya proyek seremonial yang berhenti pada peresmian. Penyediaan akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan infrastruktur ini, harus menjadi prioritas agar keberadaannya benar-benar memberikan dampak positif bagi pelestarian budaya.
Akhirnya, pemajuan kebudayaan di Sumsel memerlukan lebih dari sekadar strategi yang tampak ideal di atas kertas. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak upaya yang masih bersifat parsial dan belum terintegrasi dalam kebijakan yang komprehensif.
Jika pelestarian budaya hanya dijadikan sebagai wacana tanpa aksi nyata yang melibatkan semua elemen masyarakat, maka warisan budaya Sumsel akan semakin terpinggirkan. Oleh karena itu, strategi pemajuan kebudayaan harus dievaluasi secara kritis dan diperkuat dengan komitmen yang lebih nyata, agar budaya tetap hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Ditulis oleh Dr. Arif Ardiansyah, Dosen STISIPOL Candradimuka Palembang