Di tengah persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024, masyarakat Sumatera Selatan (Sumsel) diselimuti kegelisahan dan spekulasi. Partai Politik (Parpol) yang seharusnya bergerak cepat dalam menentukan Calon Kepala Daerah (Cakada), justru terkesan lamban dan hati-hati.
Mengapa proses ini begitu berlarut-larut? Apakah ada strategi tersembunyi di balik penundaan ini, atau justru hambatan-hambatan internal yang memengaruhi? Tulisan ini mencoba mengurai berbagai alasan dan dampak dibalik lambatnya penentuan Cakada di Sumsel, serta implikasinya bagi masyarakat dan demokrasi di tingkat lokal.
Sejumlah alasan yang bergulir di dunia maya bahwa Parpol dalam menentukan Cakada, menunggu hasil survei yang mereka lakukan. Artinya, Anda bisa membayangkan sekelompok petinggi Parpol yang berkumpul dalam sebuah ruangan rapat. Mereka duduk melingkar, dengan tumpukan laporan survei di depan mereka. Mata mereka terpaku pada angka-angka, grafik, dan analisis yang menampilkan popularitas serta elektabilitas calon-calon potensial. Hasil survei ini menjadi acuan utama dalam menentukan siapa yang layak maju sebagai Cakada. Mereka harus memastikan bahwa calon yang diusung, memiliki peluang besar untuk menang.
Namun, hasil survei tidak selalu stabil. Setiap survei terbaru bisa saja memberikan gambaran yang berbeda, tergantung pada dinamika politik dan persepsi publik yang terus berubah. Ini membuat Parpol cenderung menunggu dan melihat perkembangan hasil survei secara berkelanjutan, yang pada akhirnya memperlambat proses penentuan calon.
Alasan kedua, lambannya penentuan Cakada dari Parpol, dimana jenjang hirarki yang bertingkat. Untuk penentuan Cakada di tingkat provinsi yaitu gubernur, biasanya melibatkan pusat. Artinya, dalam struktur Parpol yang hirarkis, keputusan akhir mengenai Cakada, sering kali berada di tangan Dewan Pimpinan Pusat (DPP).
Setiap calon dianalisis berdasarkan berbagai kriteria, yakni rekam jejak, integritas, kapasitas kepemimpinan, dan potensi dukungan di daerah asal mereka. Proses ini kadang melibatkan banyak konsultasi dan diskusi, baik internal partai maupun dengan mitra koalisi. Setiap keputusan harus sejalan dengan strategi nasional partai. Komunikasi yang berjenjang dan proses pengambilan keputusan yang kompleks ini, memakan waktu, menyebabkan penentuan calon di daerah menjadi lambat.
Atau alasan ketiga, lambannya penentuan Cakada tak lebih dari sebuah Strategi Kemenangan, dimana Parpol memiliki satu tujuan utama dalam Pilkada, menang.
Oleh karena itu, mereka tidak ingin terburu-buru dalam menentukan calon. Setiap calon harus dipilih dengan hati-hati, melalui proses seleksi yang ketat. Mereka harus mampu memenangkan hati pemilih dan mengatasi pesaing-pesaing dari partai lain.
Dalam proses seleksi ini, Parpol akan menggelar serangkaian tes dan wawancara, memeriksa rekam jejak, serta mengukur kemampuan calon dalam berkomunikasi dan berkampanye, serta tentu saja terkait dengan logistik yang diperlukan untuk bertarung. Semua ini memerlukan waktu yang tidak sedikit. Ketelitian dan kehati-hatian dalam proses ini, membuat partai politik terkesan lamban dalam menentukan Cakada.
Namun, alasan lain yang lebih kencang bertiup, terutama di dunia maya, adalah isu mahar dalam penentuan sejumlah Cakada. Isu ini kerap menjadi penghambat. Calon yang ingin mendapatkan dukungan partai, terkadang harus memberikan sejumlah uang atau dukungan finansial kepada partai. Proses negosiasi ini, tidak selalu berjalan mulus dan sering kali memerlukan waktu yang cukup lama.
Mahar politik menjadi isu sensitif yang bisa menimbulkan kontroversi di masyarakat. Parpol harus berhati-hati dalam menangani isu ini, untuk menghindari dampak negatif terhadap citra mereka. Ini menambah kompleksitas dalam proses penentuan Cakada.
Di tengah segala dinamika politik ini, masyarakat di tingkat akar rumput merasa gelisah. Mereka menunggu kepastian mengenai siapa yang akan menjadi calon pemimpin mereka. Ketidakpastian ini menimbulkan rasa khawatir dan menurunkan kepercayaan publik terhadap Parpol.
Mereka merasa diabaikan dan tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai calon-calon yang akan bertarung dalam Pilkada. Masyarakat membutuhkan waktu untuk mengenal calon, mendengar visi dan misi mereka, serta menilai kemampuan mereka untuk memimpin. Lambatnya penentuan calon, membuat masyarakat merasa tidak memiliki cukup waktu untuk mengenal calon dengan baik.
Keuntungan dan Kerugian Menentukan Calon di menit terakhir, memberikan calon waktu yang sangat terbatas untuk berkampanye dan mengenalkan diri kepada masyarakat. Ini mengurangi efektivitas kampanye dan menghambat upaya untuk mendapatkan dukungan yang maksimal.
Cakada membutuhkan waktu untuk mensosialisasikan program kerja dan visi misinya kepada masyarakat. Penentuan calon yang lambat, membuat sosialisasi program menjadi tidak optimal. Ketidakpastian mengenai Cakada, dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap Parpol. Masyarakat mungkin meragukan kesiapan dan keseriusan partai dalam menghadapi Pilkada.
Namun ada keuntungan juga, dimana menentukan calon di menit terakhir, memberikan partai politik waktu lebih banyak untuk melakukan analisis dan pertimbangan yang mendalam. Hal ini memungkinkan partai untuk memilih calon yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan preferensi masyarakat. Penentuan calon di menit terakhir, dapat menjadi strategi kejutan yang menguntungkan. Calon yang tidak diduga-duga, bisa menarik perhatian masyarakat dan mengubah dinamika kompetisi Pilkada.
Akhirnya dapat disimpulkan, jika lambatnya penentuan Cakada di Sumsel mencerminkan kompleksitas proses politik yang melibatkan banyak pertimbangan strategis. Meskipun ada beberapa keuntungan dari penentuan calon di menit terakhir, kerugiannya jauh lebih signifikan, terutama dalam hal waktu kampanye dan sosialisasi program.
Parpol perlu meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam proses penentuan Cakada, untuk memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang maksimal bagi masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat memiliki kepercayaan lebih terhadap Parpol dan proses demokrasi di Sumsel dapat berjalan lebih lancar.
Ditulis oleh Dr. Arif Ardiansyah, Dosen STISIPOL Candradimuka, Palembang.
Mantap kakanda