MusiNews.id, Jakarta — Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) memandang, setelah diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), persoalan mengenai implikasi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah bagi perekonomian daerah, harus mendapatkan perhatian serius.
“Persoalan yang timbul akibat regulasi baru tersebut, patut dicermati secara mendalam, karena merupakan persoalan mendasar dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan di daerah, khususnya terkait pendapatan daerah.” tutur Wakil Ketua BULD, Eni Sumarni, bersama Ketua BULD, Stevanus BAN Liow, ketika membuka rapat bersama pakar kebijakan pajak dan otonomi daerah, di Gedung DPD RI, Komplek Parlemen Senayan Jakarta, hari Rabu tanggal 20 Maret 2024.
Lebih lanjut, sasaran pemantauan dan pengawasan yang dilakukan BULD ini, ditetapkan atas pertimbangan dikeluarkannya kebijakan baru mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
“BULD DPD RI berharap, persoalan mengenai implikasi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah bagi perekonomian daerah, mendapatkan perhatian serius.” ucap Eni Sumarni.
Pada rapat tersebut, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N. Suparman, memaparkan terkait Peningkatan PAD dan Iklim Investasi Pasca UU HKPD. Kemandirian fiskal menjadi penentu kinerja daya saing daerah secara berkelanjutan. Selain itu, keterbatasan anggaran yang ada, turut menjadi faktor penghambat pengembangan pilar tata kelola, ekonomi, sosial dan lingkungan.
“Mendorong kebijakan fiskal, penyerahan urusan pusat ke daerah, harusnya diikuti juga dengan transfer pembiayaan dan dukungan PAD yang memadai.” ungkap Herman N. Suparman.
Herman N. Suparman melanjutkan, pajak daerah dan retribusi daerah adalah instrumen untuk mempengaruhi kultur tata kelola ekonomi di daerah. Sehingga melalui UU HKPD saat ini, diharapkan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah. “Idealnya, UU HKPD mampu memberikan insentif fiskal, memberikan ruang otonomi, sehingga mampu meningkatkan PAD.” ujarnya.
Senada dengan itu, Pakar atau Peneliti Kebijakan Pajak dari Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Inayati, memberikan catatan tentang pengaturan retribusi daerah dalam UU HKPD. Menurutnya, adanya penyederhanaan jenis pungutan retribusi, menimbulkan dilema bagi pemerintah daerah.
“Terdapat sejumlah faktor yang menentukan penerimaan pajak daerah di Indonesia, yang dapat dikelompokkan menjadi aspek kebijakan dan regulasi dan aspek administrasi.” ucap Inayati.
Dia menambahkan, tantangan penguatan local taxing power di Indonesia, ditentukan dan dikelompokkan pada kebijakan serta regulasi pajak daerah dan administrasi pajak daerah. Selain itu, disparitas potensi penerimaan pajak daerah tidak merata, karena beberapa objek pajak memiliki karakteristik khas yang berbeda-beda di daerah.
“Tiap daerah memiliki karakteristik dan potensi berbeda, seperti pajak air tanah, pajak mineral bukan logam dan batuan (galian C), dan pajak sarang burung walet sebagai contoh.” pungkasnya.
Melalui rapat ini, BULD DPD RI mencari perkembangan terkini atas persoalan mengenai implikasi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah bagi perekonomian daerah. Persoalan itu, khususnya menyangkut potensi melemahnya kemandirian fiskal daerah, potensi ketimpangan PAD antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota, dan potential loss pendapatan daerah sejak diberlakukannya kebijakan pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah diatur dalam UU HKPD. (ohs)