Teknologi, Media, dan Lokalitas

Hari ini makin berat tugas yang di emban oleh jurnalis atau wartawan. Mengapa? Di sisi lain dia harus bekerja profesional dan taat etik, dia juga harus menghadapi ‘PR’ pekerjaan rumah yang tidak lah mudah, yaitu harus bisa memahami kemajuan teknologi yang saat ini terus menyerbu industri media massa.

Salah satu poin penting dalam mengkaitkan teknologi dengan industri media massa adalah sama-sama termasuk industri kreatif. Artinya, industri media massa akan bertahan dari gempuran teknologi jika ia kreatif. Sebab, industri kreatif akan terus berkembang seiring kebutuhan manusia akan pengetahuan, seni dan hiburan.

Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah mengidentifikasi lingkup industri kreatif yang terdiri dari 15 sub sektor. Sub sektor yang termasuk ke dalam industri kreatif itu meliputi Periklanan, Arsitektur, Pasar Barang Seni, Kerajinan, Industri PakaianFashion, Kuliner, Video/Film/Fotografi, Permainan Interaktif, Musik, Seni Pertunjukan, Penerbitan/Percetakan, Lenyiaran (televise/radio), serta Layanan Riset & Pengembangan.(www.kemenperin.go.id)

Dengan pintu ini, saya mau bilang jika ingin masuk ke industri ini, anda harus kreatif, kalau tidak, sulit untuk bisa bertahan, mengapa? seorang Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos, menyebut ada tiga faktor yang berkontribusi besar dalam menghancurnya media massa cetak baik tingkat lokal atau nasional saat ini.

Berita Terkait :  Energi Penggerak Ekonomi

Ketiga faktor itu adalah kesalahan manajerial, kualitas rendah redaksi, dan kenaikan harga kertas. Tidak ada teknologi disana.
Nah, dalam konteks media lokal, maka kreativitas itu menjadi kunci untuk bisa bertahan dari suasana hari ini, karena media lokal umumnya hanya mengandalkan sumber daya lokal, dimana bagian redaksi media umumnya bukan lulusan ilmu komunikasi yang paham cara mengemas berita.

Dan bukan rahasia lagi jika pengelola media seringkali mengedepankan komersialisme dalam memajukan medianya. Akibatnya, ketimpangan aspek idealisme sebagai institusi media dengan komersialisme sebagai institusi bisnis, seringkali terjadi.

Dalam konteks idealisme pers atau media lokal, kerap terseret dalam konflik kepentingan politik lokal, terutama saat pemilihan Kepala Daerah, seperti mendukung salah satu pasangan calon, mempublikasikan hasutan dari salah satu tim sukses, ini yang kerap terjadi karena kepentingan pemilik.

Problem lainnya di media lokal adalah intervensi kepala daerah dan tim suksesnya, saat media lokal mulai kritis terhadap satu kebijakan, mulai dari meminta redaksi memindahkan wartawan ke tempat lain karena dianggap tidak bisa bekerja sama, sampai ancaman putus kontrak kerja sama dan blokade media.

Berita Terkait :  Energi Penggerak Ekonomi

Adapun solusi untuk permasalahan di atas, maka ditawarkan hal berikut:

1). Mempedomani kembali Undang- Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

2). Menyeimbangkan antara pers sebagai industry bisnis dengan pers sebagai lembaga professional (control social).

3). Dalam menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah, upayakan tetap berpegang pada prinsip dan etika profesi jurnalistik.

4). Wartawan mesti meningkatkan kapasitas dan kualitas produk jurnalistiknya, menaati kode etik wartawan, dan tidak membawa profesi ke ranah politik praktis.

5). Melaporkan kepala daerah atau pihak-pihak yang berupaya mengintimidasi media dan wartawan dalam menjalankan profesinya, ke Komisi Informasi Publik (KIP), polisi dan ombusman pada level pemerintahan tertentu.

6) Meningkatkan skill dan kapasitas jurnalis/media dalam memahami teknologi

7). Mendorong lembaga pendidikan yang produksi SDM jurnalis untuk melibatkan praktisi dalam pembelajaran dan pemahaman media dan teknologi

Ditulis Oleh : Dr. Arif Ardiansyah
Dosen STISIPOL Candradimuka Palembang

Pemutihan Pajak Sumatera Selatan tahun 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *