Di era digital, aktivitas belanja online tidak lagi sekadar tren, melainkan menjadi gaya hidup baru. Dari promo besar-besaran di Shopee Live, hingga flash sale di TikTok Shop, konsumen menikmati pengalaman belanja yang cepat dan mudah.
Namun, di balik layar megah platform ini, pemerintah sedang menjalankan salah satu agenda fiskal terbesarnya : pajak digital. Pertanyaannya, siapa yang benar-benar merasakan manfaat dari kebijakan ini?
Ketika Belanja Digital Dipajaki
Pemerintah Indonesia mulai memberlakukan pajak atas ekonomi digital pada tahun 2020 melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 48 Tahun 2020. Pajak ini mengharuskan platform seperti Shopee dan TikTok untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% dari setiap transaksi digital. Hingga akhir 2024, pajak ini berhasil mengumpulkan pendapatan signifikan, mencapai angka lebih dari Rp23 triliun.
Namun, siapa sebenarnya yang membayar pajak ini? Dalam praktiknya, PPN dibebankan langsung kepada konsumen. Hal ini terlihat pada transaksi di TikTok Shop, dimana harga barang sering kali terlihat lebih tinggi setelah pajak. Meski demikian, platform digital dan pelaku usaha tetap menikmati peningkatan penjualan, berkat popularitas belanja online.
Konsumen : Antara Untung dan Terbebani
Platform seperti TikTok Shop, menarik konsumen dengan potongan harga yang menggiurkan. Namun, kenaikan harga akibat pajak digital membuat konsumen bertanya-tanya : apakah pengalaman berbelanja ini masih sepadan?
“Pajak ini terasa seperti beban tambahan bagi konsumen.” ujar Santi, seorang pengguna Shopee Live, yang mengaku harus membayar lebih banyak untuk produk yang biasanya ia beli secara offline.
Namun, dari perspektif yang lebih luas, pendapatan pajak ini sebenarnya digunakan untuk membangun infrastruktur dan mendanai kebutuhan publik lainnya, sehingga manfaatnya tetap kembali ke masyarakat.
Pelaku Usaha Lokal: Tantangan atau Peluang?
Bagi UMKM, pajak digital menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, mereka dapat memperluas pasar dengan bergabung di platform besar seperti Shopee atau TikTok. Namun, mereka juga harus bersaing dengan produk impor yang sering kali mendapat subsidi besar dari platform tersebut.
“Diskon besar-besaran yang ditawarkan platform global, membuat usaha kecil sulit bersaing.” ujar Arief, seorang pengusaha lokal.
Meskipun demikian, beberapa pelaku UMKM memandang pajak digital sebagai cara untuk menciptakan persaingan yang lebih adil, terutama jika kebijakan ini juga diberlakukan terhadap produk asing.
Menciptakan Ekosistem Digital yang Adil
Keberhasilan kebijakan pajak digital bergantung pada pengawasan yang baik dan transparansi dari pihak pemerintah serta platform digital. Salah satu langkah penting adalah memastikan pendapatan dari pajak ini benar-benar dialokasikan untuk mendukung pelaku usaha lokal dan memperbaiki infrastruktur ekonomi digital.
Sebagai konsumen, kita juga memiliki peran penting dalam mendukung keberlanjutan kebijakan ini. Dengan memahami bahwa pajak adalah bentuk kontribusi kita terhadap pembangunan negara, belanja online tidak hanya menjadi aktivitas konsumtif, tetapi juga bagian dari solusi ekonomi.
Ditulis oleh Grimonia Patriosa Pertiwi, Mahasiswi Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
Keren monic #proudbestie