Terkait Perlindungan Ojol, Inilah Usulan Konkret Ketua DPD RI
Pemutihan Pajak Sumatera Selatan tahun 2024
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dari Provinsi Jawa Timur, LaNyalla Mattalitti. (foto : DPD RI)
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dari Provinsi Jawa Timur, LaNyalla Mattalitti. (foto : DPD RI)

Terkait Perlindungan Ojol, Inilah Usulan Konkret Ketua DPD RI

MusiNews.id, Jakarta — Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Tenaga Kerja, masih menyusun peraturan yang akan memberikan perlindungan kepada para pengendara Ojek Online alias Ojol.

Pemerintah masih mencari rujukan undang-undang yang tepat untuk menjadi payung hukum bagi Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang perlindungan Ojol ini.

Mengingat hubungan antara pengemudi Ojol dengan perusahaan, hanya bersifat kemitraan dan bukan karyawan, sehingga belum diatur dalam Undang-Undang.

Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, LaNyalla Mahmud Mattalitti, memberikan masukan dengan menekankan pada paradigma kemitraan itu sendiri.

Dimana kemitraan itu adalah hubungan saling menanamkan modal, sehingga pengemudi Ojol harus dianggap bagian dari beneficial ownership atau pemilik saham.

“Pengemudi Ojol ini, kan pada prinsipnya menanamkan modal. Yang paling besar adalah kendaraan mereka. Dimana kendaraan itu, menjadi bagian inti dari alat produksi perusahaan. Sehingga, mereka itu juga bagian dari penanam saham.” ujarnya pada hari Sabtu tanggal 15 Juni 2024.

Sebagai bagian dari penanam saham, meskipun valuasinya kecil, maka sudah ada sebenarnya payung hukumnya. Selain mendapat fee dari keringatnya saat menjalankan pekerjaan, valuasi dari modal dia, juga harus diperhitungkan sebagai bagian dari dividen.

Berita Terkait :  Ketua DPD RI : "Pendidikan Jadi Kunci, Indonesia Harus Belajar dari Korea Selatan"

“Orang di lantai bursa, bisa membeli saham perusahaan Ojol ini. Bahkan, nilai per lembar sahamnya lebih murah dari harga kendaraan. Begitu publik membeli saham, kan disebut juga bagian dari pemilik. Mendapatkan pembagian keuntungan juga. Apalagi pengemudi Ojol ini menanamkan modal dalam bentuk alat produksi.” sambung LaNyalla Mattalitti, sapaan akrabnya.

Lanjutnya, skema itu baru salah satu yang harus dipenuhi. Skema lainnya, pemerintah bisa mempelajari apa yang sudah diterapkan di Spanyol, Belanda, dan negara bagian California di Amerika Serikat.

Di Spanyol, kata mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Provinsi Jawa Timur (Jatim) itu, sejak tahun 2021 sudah ada aturan yang mengakui pengemudi Ojol sebagai karyawan. Dengan konsekuensi ada Upah Minimum, Cuti, dan Tunjangan lainnya.

Sedangkan di Belanda, tahun 2022 ada Undang-Undang khusus sektoral yang memberikan beberapa hak dan perlindungan minimum bagi pekerja paltform, termasuk transparansi dalam algoritma dan hak untuk berunding bersama.

Berita Terkait :  MPW Pemuda Pancasila Jatim Minta Hapus Suara Siluman DPD RI di Sirekap

Sementara di California, sudah sejak tahun 2019, pemerintah negara bagian mengesahkan Undang-Undang yang mengklasifikasikan pekerja transportasi dan pengantaran berbasis aplikasi, sebagai kontraktor indpenden dengan beberapa tunjangan, termasuk gaji minimum berdasarkan waktu kerja.

Intinya, menurut LaNyalla, prinsip kemitraan itu harus dipenuhi. Termasuk hak mitra untuk melakukan kontrol atas kinerja perusahaan. Karena di lapangan, faktanya saat ini pengemudi Ojol tidak memiliki hal itu. Padahal, perusahaan platform yang menentukan tarif.

“Belum lagi perusahaan menggunakan mesin algoritma untuk mengontrol pendapatan mereka. Bahkan bisa menonaktifkan pengemudi karena tidak memenuhi metrik kinerja. Kalau tidak sejajar seperti ini, namanya bukan kemitraan.” tegasnya.

LaNyalla juga meminta kementerian terkait untuk mempelajari kajian-kajian yang dilakukan The Fair Foundation, salah satu organisasi yang concern meneliti dan mengkaji, serta menawarkan usulan-usulan yang adil bagi pekerja platform di seluruh dunia. (qs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *