MusiNews.id — Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Askweni, menyatakan dukungannya terhadap langkah Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi, dalam menangani persoalan kecanduan game online di kalangan pelajar.
Namun, ia mengingatkan bahwa pendekatan yang diambil, harus mempertimbangkan aspek psikologis dan tumbuh kembang anak, serta melibatkan pendekatan yang lebih lembut dan terpadu lintas sektor.
“Saya mengapresiasi atensi Pak Dedi terhadap persoalan serius ini. Namun, karena yang kita hadapi adalah anak-anak, maka pendekatannya harus lebih bersifat edukatif, restoratif, dan mengedepankan kesehatan mental.” kata Askweni dalam keterangan tertulisnya kepada MusiNews.id, hari Rabu, tanggal 14 Mei 2025.
Askweni mengatakan, saat ini ia telah membentuk tim khusus yang terdiri dari psikolog, akademisi, dan pelaku industri game, untuk meneliti dampak sosial dari kecanduan game online pada anak.
“Tim ini akan menyusun rekomendasi berbasis riset, untuk mendorong lahirnya kebijakan yang lebih humanis, berbasis data, dan mampu menyentuh akar masalah.” paparnya.
Dedi Mulyadi sebelumnya menetapkan kebijakan pendidikan karakter bagi siswa, dengan perilaku khusus melalui barak militer, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor: 43/PK.03.04/KESRA.
Siswa dengan kecenderungan negatif seperti tawuran, merokok, balap liar, mabuk, hingga kecanduan game online, akan diberikan pembinaan di lingkungan terstruktur, dengan izin dari orang tua.
Menurut Dedi Mulyadi, kebijakan ini merupakan respons terhadap tingginya angka kecanduan game di Jabar. Ia menyebutkan bahwa sekitar 10 persen pelajar di provinsi tersebut mengalami kecanduan yang mengganggu pola tidur, aktivitas belajar, bahkan memicu perilaku menyimpang.
“Anak-anak ini tidur jam 4 pagi, bangun jam 10 siang, tidak sekolah. Ini masif, dan kalau tidak diintervensi bisa berujung pada hal-hal yang lebih buruk.” ujar Dedi Mulyadi, dalam kunjungannya ke Purwakarta, pada hari Selasa, tanggal 6 Mei 2025 yang lalu.
Ia mencontohkan kasus penusukan oleh seorang pelajar kepada kakeknya, yang melarangnya keluar malam untuk bermain game.
Askweni menilai, kebijakan tersebut dapat menjadi titik awal penanganan, namun perlu dilengkapi dengan intervensi yang lebih halus dan multidisipliner.
“Anak-anak bukan tentara. Kita butuh program yang bisa membentuk karakter tanpa harus menekan secara fisik. Harus ada sentuhan psikologi, konseling, dan edukasi digital.” ujarnya.
Ia mendorong agar program pendidikan karakter ini diintegrasikan dengan,layanan konseling dan kesehatan mental di sekolah, literasi digital dan game sebagai kurikulum tambahan, pelibatan orang tua dan komunitas sebagai mitra pengasuhan, insentif untuk developer lokal yang menghadirkan konten edukatif dan sehat.
Selain itu, Askweni mendorong pembentukan Satgas Digital Sehat di setiap provinsi, serta hotline konsultasi 24 jam bagi keluarga yang mengalami kesulitan dalam mendampingi anak menghadapi kecanduan digital.
“Kalau kita hanya menekan tanpa membimbing, risikonya anak akan semakin tertutup. Tapi kalau kita hadir sebagai pendamping yang paham dunia mereka, maka karakter akan tumbuh dari kesadaran, bukan paksaan.” tegasnya. (qso)