MusiNews.id — Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, K. H. Asrorun Niam, berkomentar soal isu yang menyeruak di publik terkait perbedaan hari raya Idul Fitri dan puasa. Katanya, mereka yang berlebaran di hari Sabtu tanggal 22 April, tetap wajib puasa di hari Jumat.
“Bagi yang menggunakan ijtihad dengan patokan rukyah atau hisab imkanur rukyah dengan kriteria ketinggian hilal 3 derajat, dan bagi yang meyakini serta mengikuti pandangan bahwa idul fitri jatuh hari Sabtu, maka pelaksanaan salat Idul Fitri dilaksanakan pada Sabtu dan tidak boleh berpuasa di hari Sabtu tersebut. Sedang di hari Jumatnya, masih wajib berpuasa.” kata K. H. Asrorun Niam dalam keterangannya pada hari Kamis tanggal 20 April 2023, seperti dikutip dari kumparan.com.
Apa yang disampaikan olehnya, menegaskan soal kesimpangsiuran puasa dan hari raya. “Beragama perlu dengan ilmu. Jika tidak, maka kita mengikuti orang yang berilmu.” tegas K. H. Asrorun Niam.
Katanya juga, bagi yang menggunakan ijtihad dengan patokan wujudul hilal, dan bagi yang meyakini serta mengikuti pandangan bahwa idul fitri jatuh pada hari Jumat, maka hari Jum’at ia melaksanakan salat Idul Fitri dan tidak boleh berpuasa.
“Perbedaan yang didasarkan pada pertimbangan ilmu, akan melahirkan kesepahaman (tafahum); bukan pertentangan (tanazu’) dan permusuhan (‘adawah). Karenanya, beragama perlu dengan ilmu, sehingga muncul spirit harmoni dan kebersamaan.” urai dia.
K. H. Asrorun Niam juga menyampaikan, penentuan awal ramadhan, syawal, dan dzulhijjah, merupakan wilayah ijtihadiyah, yang membuka kemungkinan terjadinya perbedaan di kalangan fuqaha.
“Secara keilmuan, memang dimungkinkan terjadinya perbedaan. Terjadinya perbedaan pendapat pada masalah yang berada dalam majal al-ikhtilaf (wilayah dimungkinkannya terjadi perbedaan), harus mengedepankan toleransi.” tuturnya.
Sebelumnya, Muhammadiyah telah menetapkan awal bulan Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat tanggal 21 April 2023. Muhammadiyah menetapkan awal bulan syawal dengan metode hisab, yaitu dengan cara perhitungan matematis dan astronomis dalam menentukan posisi bulan untuk menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriah.
Sedangkan pemerintah melalui Kementerian Agama, menetapkan awal bulan Syawal dengan menggunakan metode rukyatul hilal, yaitu sebuah metode penentuan awal bulan Hijriah dengan cara mengamati hilal (bulan sabit) secara langsung dengan menggunakan teleskop. Jika hilal (bulan sabit) sudah terlihat di ketinggian 3 derajat, maka berarti sudah memasuki awal bulan baru. Namun jika hilal tidak terlihat, maka puasa Ramadhan ditambah 1 hari. (qso)